Kamis, 14 Oktober 2010

Menghidupkan Tradisi Perayaan Natal


Tanpa terasa Natal semakin dekat teringat akan 2 tahun lalu saat sehari menjelang Misa Natal, suasana di Pastoran St Yohanes Rasul Somohitan justru menyerupai masa panen raya. Puluhan keranjang berisi salak pondoh memenuhi halaman tengah Pastoran di Desa Girikerto, Turi, Sleman, itu.

Sejumlah perempuan tampak sibuk memilah kemudian mengemas salak- salak pondoh nan ranum tersebut ke dalam keranjang-keranjang lain yang berukuran lebih kecil. "Salak dalam keranjang kecil-kecil ini nanti akan dibagikan kepada umat dari daerah lain. Kalau umat sini, kan, semuanya punya pohon salak," kata Yuniarsih (41), Selasa (23/12).

Anggota Paroki Somohitan ini menuturkan, salak-salak yang terkumpul hari itu merupakan persembahan umat Katolik yang tinggal di sekitar Gereja St Yohanes Rasul Somohitan. Setiap orang membawa rata-rata 2-5 kilogram salak sebagai persembahan dalam menyambut hari lahir Yesus Kristus.

Bagi umat Katolik di Kecamatan Turi dan Pakem, Natal memang bukan sekadar ritual tahunan yang dilakukan tanpa makna. Selain melakukan refleksi secara personal, Natal menjadi momen untuk menunjukkan rasa syukur mereka atas berkah yang telah diberikan sepanjang tahun. Sebagai simbol dari rasa syukur itulah, mereka mempersembahkan hasil bumi berupa salak pondoh.

Ketua Dewan Paroki Gereja St Yohanes Rasul Somohitan Rm Y Suyatno Hadiatmaja Pr mengatakan, akhir-akhir ini manusia semakin sulit mengungkapkan rasa syukur. Di banyak tempat, orang-orang selalu protes karena merasa kurang dan tidak puas.

Dengan semangat Natal, ia bersama umat Katolik di Turi dan Pakem ingin kembali mengungkapkan rasa syukur itu. "Tuhan menempatkan manusia dalam alam. Kalau manusia mau kerasan, alam harus dirawat. Dengan bersyukur, kita akan selalu mengingat bahwa alam adalah sahabat," kata Rm Yatno.

Desember tahun lalu, ungkapan rasa syukur terhadap alam karunia Tuhan itu juga dilakukan dengan menggelar Sukur Panen. Menariknya, acara Sukur Panen itu tidak hanya diikuti oleh umat Katolik, melainkan juga umat lain yang tinggal di Turi dan Pakem.

Dalam acara itu, sekitar 1.000 umat dari latar belakang iman yang berbeda berbaur mengucap syukur. Mereka membuat arak-arakan sepanjang sekitar 3 kilometer dengan membawa hasil bumi setempat berupa salak pondoh, ketela, kacang panjang, jagung, dan aneka masakan.

Tak hanya mendekatkan diri pada alam, acara itu juga mengangkat tradisi Jawa yang memang masih kental mewarnai kehidupan warga. Umat yang berasal dari beragam latar belakang iman itu berarak mengenakan pakaian adat Jawa dengan iringan alat musik dan lagu-lagu jawa.

"Kami bersyukur dengan apa yang kita miliki. Karena berada di Jawa, ya kami memakai budaya Jawa. Tuhan toh tidak pernah membeda- bedakan budaya. Ia pasti lebih senang kalau disambut dengan keguyuban," ujar Rm Yatno.

Shalawatan

Suasana perayaan Natal yang tak biasa juga ditemui di Paroki Promasan, Desa Banjaroyo, Kalibawang, Kulon Progo. Tak terdengar dentingan syahdu tuts piano saat mengiringi nyanyian kidung pujian, tetapi tepukan rebana yang meriah.

Beberapa hari menjelang Natal, suasana hunian di sela-sela Perbukitan Menoreh itu tak pernah sepi. Setiap 2-3 hari sekali, beberapa warga yang tergabung dalam kelompok doa berkumpul dan berlatih menabuh rebana. "Biasanya kami berkumpul sekitar pukul 20.00 dan baru selesai tengah malam," kata Yohanes Sugiyanto (54), warga Promasan sekaligus penjaga lokasi ziarah Sendangsono.

Selain rebana, shalawatan juga melibatkan alat-alat musik pukul lain seperti kendang, genjring, dan lain-lain yang ditabuh bergantian. Nuansa yang lantas tercipta hampir sama seperti acara ritual tradisional umat Islam di Jawa, penggunaan bahasa Jawa sebagai lirik lagu kian memperkuat nuansa itu. Hanya isi lirik saja yang tetap bernapas Kristiani.

Yohanes menuturkan, shalawat merupakan budaya asli dari Promasan. Dulu, leluhur mereka selalu menggelar shalawat saat merayakan pesta atau syukuran atas pencapaian tertentu seperti saat panen raya.

Selain pada hari Natal, shalawat kerap dibawakan saat kebaktian malam Jumat Kliwon di Sendangsono. Misa yang berlangsung sekitar pukul 20.00 itu menggunakan bahasa Jawa sebagai pengantar sehingga kesenian shalawat dinilai pas untuk mengiringi kidung-kidung pujian yang dinyanyikan selama prosesi misa berlangsung.

Atas keunikan tradisi yang terdapat di Promasan, Bowo Susanto (47), seorang warga, mengaku bangga. Menurutnya, tradisi itulah yang membedakan suasana religius yang terbangun di Promasan dengan daerah lain. "Keunikan ini juga yang menjadi daya tarik umat Kristiani dari daerah lain untuk datang mengunjungi Sendangsono," tuturnya. (YOP/ARA/ENG)


Sumber :
http://nasional.kompas.com
Temukan hadiah yang unik dan menarik untuk orang-orang terkasih dalam daftar Hadiah Natal Anda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar